PENDAHULUAN
Sebutan Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie. Orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.
Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan seiring dengan semakin populernya. istilah Indis pada berbagai macam institusi seperti Partai Indische Bond atau Indische Veeneging. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa.
Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.
Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu datang ke Indonesia antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis, yang memberi pengaruh pada budaya asli. Karena itu, dalam bangunan Indis juga terkandung berbagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim atau cuaca, tersedia material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian, dan agama.
Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa.
Di Surabaya, bangunan tersebut nampak pada gedung-gedung cagar budaya yang sebagian besar terdapat di wilayah Surabaya bagian Utara. Misalnya gedung tinggi nan kokoh yang sekarang digunakan sebagai Bank Mandiri, kawasan Pabean, dah kompleks wahana pemerintahan, seperti kediaman gubernur dan hotel. Hala ini pun sebenarnya terlihat di beberapa kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Semarang. Umumnya bangunan tersebut tinggi dan memiliki banyak jendela. Demikian juga di kota Malang yang memiliki arsitektur dan pengaruh budaya insdies yang kuat.
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa. Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serbamewah.
Kebudayaan Indis sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, cara makan, cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya hidup. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.
Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.
Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.
Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya.
Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priyayi.
Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial budaya.
Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya tidak perlu diratapi.
Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco sebagai gaya internasional.
Salah satu adanya contoh kebudayaan Indis adalah pasar malam. Pasar malam besar menyorot tiga ciri khas dalam kebudayaan Indo- Belanda: makan, kebudayaan dan bahasa. Berbagai restoran dan acara belajar masak bisa anda jumpai di pasar malam, dari makanan khas Jawa Timur sampai ke makanan Indis, makanan campuran gaya Indonesia dan Belanda. Ihwal budaya, pasar malam ini menyediakan berbagai panggung dan teater, serta mengundang para artis Indonesia dan Belanda yang berlatar belakang Indonesia untuk memamerkan kebolehan mereka.
Setiap tahun diundang orkes keroncong dari Indonesia, Belanda atau negara lain, misalnya Malaysia. Dan akhir-akhir ini dangdut pun mendapat perhatian juga. Bahasa khas kelompok Indis ini adalah campuran Belanda dengan bahasa Jawa atau Melayu: bahasa Pecok. Bahasa ini masih bisa didengar selama pasar malam besar ini atau dibaca dalam beberapa buku khas.
Tinjauan Pustaka
Teori Kebudayaan Indis
Mengambil periodisasi perkembangan kebudayaan Indonesia di Jawa pada abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20, buku ini mengulas rinci proses pembentukan kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan dan gaya hidup Indis. Dalam buku ini dibahas antara lain tentang bahasa Indis, pakaian, arsitektur, alat transportasi, hingga mata pencaharian kelompok masyarakat ini. Penulis memfokuskan pada perpaduan budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya budaya Jawa. Pertukaran terjadi dalam beberapa bentuk dalam matriks, anatara lain, pertukaran langsung, pertukaran tergeneralisasi dan pertukaran produktif. Dalam pertukaran langsung (Direct Exchange), timbal balik dibatasi pada kedua aktor yang terlibat. Pertukaran tergeneralisasi (Generalized Exchange) melibatkan timbale balik yang bersifat tidak langsung. Seseorang memberikan kepada orang lain, dan penerima merespon tetapi tidak kepada orang pertama.akhirnya, pertukaran dapat bersifat produktif, yaitu kedua aktor harus saling berkontribusi agar keduanya memperoleh keuntungan.
Dalam pertukaran langsung dan tergeneralisasi, satu orang diuntungkan oleh nilai yang dimiliki oleh orang yang lainnya. Satu orang menerima penghargaan, sementara yang satunya mengalami pengorbanan. Dalam pertukaran produktif (Productive Exchange), kedua orang mengalami pengorbanandan mendapatkan penghargaan secara simultan.
Dalam pertukaran langsung dan tergeneralisasi, satu orang diuntungkan oleh nilai yang dimiliki oleh orang yang lainnya. Satu orang menerima penghargaan, sementara yang satunya mengalami pengorbanan. Dalam pertukaran produktif (Productive Exchange), kedua orang mengalami pengorbanandan mendapatkan penghargaan secara simultan.
Budaya Indies Dan Stratifikasi Sosial
Sentuhan pertama yang terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terjadi ketika ekspedisi Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah rempah. Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia dengan orang orang Belanda. Hubungan perdagangan tersebut lambat laun berubah drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah didirikannya VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun sempat diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kebudayaan Indonesia.
Kolonialisme Belanda di Indonesia depat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :
(1). Fase antara 1602-1800 : yaitu fase ketika Belanda dengan VOC menggalakkan handels kapitalisme.
(2). Fase antara 1800-1850 : fase ini diselingi oleh penjajahan Inggris, pada masa ini Belanda menciptakan dan melaksanakan cultuurstelsel.
(3). Fase antara 1850-1870 ; cultuurstelsel dihapus diganti oleh politik liberal kolonial.
(4). Fase setelah 1800 : makin bertambah perusahaan asing yang ada di Indonesia akibat politik open door negeri Belanda.
Selain melakukan imperialisme di bidang ekonomi Belanda juga melakukan imperialisme di bidang kebudayaan. Hal ini terbukti dengan adanya politik etis Van Deventer. Van Deventer dalam Tweede Kamer 1912 menyatakan bahwa Humanisme Barat (maksudnya politik etisnya) telah memberi keuntungan besar, ialah dapat memungkinkan adanya asosiasi kebudayaan antar timur dan barat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam politik etis Van Deventer terutama program edukasinya merupakan pelaksaanan dari politik asosiasi. Politik asosiasi berarti bangsa penjajah berupaya menghilangkan jurang pemisah antara penjajah dengan bangsa terjajah dengan melenyapkan kebudayaan bangsa terjajah diganti dengan kebudayan penjajah.
Politik asosiasi memungkinkan Belanda untuk memasukkan nilai nilai kolonialismenya pada kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat rohani, maupun yang terkait dengan produk fisik kebudayaan. Menurut Raymond Kennedy kolonialisme Belanda memiliki ciri ciri pokok sebagai berikut:
(1). Membeda-bedakan warna kulit (color line).
(2). Menjadikan tempat jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk.
(3). Perbaikan sosial sedikit.
(4). Jarak sosial yang jauh antara bangsa terjajah dengan penjajah.
Dari ciri ciri pokok di atas poin pertama dan poin keempat tercermin dalam stratifikasi sosial yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Stratifikasi sosial tersebut sebagai berikut :
(1). Golongan pertama : orang Belanda dan orang asing ( kulit putih).
(2). Golongan kedua : orang timur asing.
(3). Golongan ketiga : orang pribumi. Pembedaan golongan kelas sosial berdasar warna kulit tersebut diikuti dengan pembedaan hak dan kewajiban yang diterima. Hal ini berujung untuk menjaga prestise pemerintah kolonial dengan menciptakan superioritas orang kulit putih dan inferioritas pribumi.
Masyarakat Jawa sebelum masa kolonial Belanda, telah memiliki stratifikasi sosial secara tradisional. Stratifikasi sosial tersebut menggunakan ukuran kedudukan jabatan di pemerintahan. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa sebelum kolonial sebagai berikut :
(1). Raja sebagai puncaknya.
(2). Keluarga raja / bangsawan.
(3). Pejabat tinggi, pembantu pribadi / pengikut raja.
(4). Kaum rohaniawan.
(5). Pejabat rendahan. Secara umum status sosial tertinggi dimiliki oleh raja dan bangsawan / keturunan raja, kemudian pejabat sipil, militer, agama, kehakiman, kecuali ulama istana, golongan tersebut yang disebut matri.
Ada pemisahan antara stratifikasi sosial di pemerintahan pusat dengan di daerah. Pemuka daerah dipandang lebih rendah kedudukannya dengan pejabat di luar pemerintahan. Stratifikasi sosial di daerah terdiri dari :
(1). Akuwu dan anden merupakan golongan tertinggi.
(2). Pemuka agama.
(3). Petani.
(4). Hamba sahaya. Secara umum kedudukan seseorang dalam masyarakat Jawa tradisional diukur dengan dua kriteria :
(1). Prinsip kebangsawanan yang berakar dari hubungan darah dengan orang yang memiliki jabatan di pemerintahan.
(2). Prinsip kebangsawanan yang didasarkan dari posisi dalam hierarki birokratis.
Orang yang memiliki status sosial akibat adanya hubungan darah dipandang kedudukannya lebih tinggi dari yang didasarkan dari posisinya dalam hierarki birokratis. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan tingkat gelar serta nama kedudukannya. Orang orang yang memiliki status kebangsawanan tersebut merupakan kaum priyayi. Priyayi adalah kaum elit yang secara tradisional, memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari rakyat biasa.
Pada masa peralihan dari kekuasaan feodal menjadi kekuasaan kolonial menghilang. Hal ini karena kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan yang fundamental. Namun status sosial bangsa Indonesia yang dibawah bangsa asing baik kulit putih maupun timur asing memberi dampak pada stratifikasi sosial tradisional masyarakat Jawa. Adanya warna kulit yang menjadi ukuran status sosial menjadikan Bangsa Belanda posisinya di atas pribumi, termasuk raja. Meskipun raja dan keluarganya masih ditempatkan di atas bangsa timur asing. Ukuran warna kulit menjadikan bangsa Belanda yang golongan kecil tetapi memiliki hak istimewa ditempatkan di atas pribumi yang mendapat jabatan di atas pribumi yang harus diangkat berdasar keahlian.
Meskipun raja dan keluarganya di tempatkan di atas bangsa timur asing, priyayi tetap berada dibawah kaum timur asing termasuk golongn pribumi. Masyarakat tradisional Jawa sendiri terbagi menjadi dua yaitu : priyayi dan rakyat biasa atau wong cilik. Priyayi merupakan orang yang berkelas tinggi yang merupakan golongan elit masyarakat Jawa, yang dapat diukur dari tiga aspek :
(1). Tradisional : pegawai istana sultan.
(2). Kolonial : pengelola kantor pribumi.
(3). Keturunan : gelar priyayi meski bukan pegawai pemerintah.
Pada masa kolonial Belanda ukuran untuk disebut sebagai priyayidigunakan ukuran pekerjaan dan keturunan. Dan pada masa itu untuk golongan pekerjaan tertentu yang ukurannya tinggi bagi pribumi tidak dapat sembarang orang menduduki. Misalnya, pengangkatan seorang pegawai tingkat wedana ke atas digunakan asas keturunan. Hanya keturunan wedana ke atas yang dapat menduduki. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi priyayi.
Golongan priyayi pada masa kolonial Belanda yang didasarkan pada jabatan kepegawaian status sosialnya sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya jabatan. Makin tinggi jabatan makin tinggi status sosialnya, baik dalam tataran pribumi secara umum maupun dalam kelompok priyayi. Perbedaan status sosial antar kaum priyayi dibagi sebagai berikut : (1). Pangreh praja /pejabat pemerintah daerah. Tertinggi bagi priyayi, diukur dari sifat kebangsawanan.
(2). Bukan pangreh praja : golongan terpelajar dari golongan tiyang alit (wong cilik) yang medapat kedudukan dari pendidikan.
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di propinsi Jawa Timur yang telah lama berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Pada zamannya, perencanaan kota Malang sering disebut sebagai salah satu hasil perencanaan kota kolonial yang terbaik di Hindia Belanda. Kota Malang yang kita huni didesain dengan konsep arsitektur kolonial, yang karena nilai estetis dan historisnya yang tinggi patut untuk dipertahankan.
Salah satu sebab mengapa warisan arsitektural dari masa itu yang berupa bangunan kolonial masih dapat dinikmati oleh masyarakat modern adalah karena kekhasan bentuk bangunannya. Para arsitek Belanda yang merancang bangunan-bangunan kolonial di Indonesia pada era 1910-an hingga 1940-an telah berhasil memadukan arsitektur Eropa, khususnya Belanda, dengan teknologi bangunan daerah tropis. Bangunan-bangunan tersebut tetap memiliki gaya Eropa, namun tetap sesuai untuk dihuni di daerah tropis.
Keunikan bangunan inilah yang membedakan bangunan kolonial Belanda dengan bangunan lainnya. Pada bangunan kolonial, terdapat berbagai ciri-ciri khusus yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya, terutama pada fasade bangunan yang terlihat pertama kali oleh pengunjung.
Kota Malang telah dikuasai Belanda sejak tahun 1767, namun baru berkembang pesat pada awal abad ke-20. Perkembangan yang pesat dalam perencanaan perluasan kota Malang sangat dipengaruhi dari berdirinya Gemeente Malang pada 1 April 1914 dibawah pimpinan walikota pertama, H.I Bussemaker. Perencana utama perkembangan kota Malang pada masa itu adalah Ir. Herman Thomas Karsten, dengan memperhatikan aspek kenyamanan view yang berorientasi pada pemandangan gunung-gunung sekitar kota Malang.
Rencana kota Malang 1920, yang dibuat oleh Ir Thomas Kartsen, merupakan fenomena baru bagi perencanaan kota-kota di Indonesia, kaidah-kaidah perencanaan modern telah memberikan warna baru bagi bentuk tata ruang kota, seperti penggunaan pola boullevard, bentuk-bentuk simetri yang menonjol dan sangat disukai pada periode renaisance.
Pengembangan kawasan pusat kota dengan banguan bergaya Art deco, munculnya bangunan sudut seperti di perempatan PLN, dan bangunan kembar di perempatan Kayutangan serta hadirnya bangunan-bangunan bermenara menandai era baru arsitektur perkotaan di Malang. Gaya arsitektur Indische Empire yang muncul sampai akhir abad ke-19 sempat muncul di Malang. Gaya tersebut terlihat pada gedung asisten residen di dekat alun-alun kota Malang tapi sayang sekali sekarang sudah dirobohkan, bangunan kolonial yang bergaya arsitektur Indische Empire di Kota Malang saat ini bisa dikatakan sudah tidak tersisa lagi.
Bentuk dan tata ruang pusat kota yang terbentuk pada masa pemerintahan Belanda, yang lebih ditujukan bagi kepentingan politis pemerintahan belanda (mengutamakan masyarakat Belanda), ternyata telah menghasilkan bentukan morfologi kota yang cenderung meniru bentuk-bentuk arsitektur gaya Eropa seperti Art Deco, Renaisance, Baroqe dan sebagainya. Dalam konteks historis sebenarnya keberadaan bangunan peninggalan Belanda merupakan potensi (asset) yang dapat dikembangkan bagi perkembangan arsitektur kota Malang. Melalui aturan-aturan produk kolonial, ternyata telah memberikan warna pada bentukan fisik lingkungan baik gaya arsitektur maupun pola-pola tata ruang yang terbentuk.
Bentuk morfologi kawasan tercermin pada pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, serta elemen-elemen fisik kota lainnya pada keseluruhan konteks perkembangan kota. Perkembangan selanjutnya, kekuatan domain ekonomi, sebagai akibat cepatnya pertumbuhan ekonomi telah membawa implikasi perubahan pada karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota Malang. Disisi lain, pengendalian perkembangan kawasan pusat kota tidak memperhatikan konteks kesejarahan pembentukan kota, sehingga seperti halnya kota besar lainnya, kota Malang-pun mempunyai kecenderungan kehilangan karakter spesifiknya dan muncul karakter "ketunggalrupaan" arsitektur, sehingga kesinambungan kesejarahan kawasan seolah terputus sebagai akibat pengendalian perkembangan yang kurang memperhatikan aspek morfologis kawasan.
Bangunan kolonial yang terdapat di kota Malang saat ini merupakan hasil arsitektur kolonial yang dibangun pada masa sesudah tahun 1920. Gaya arsitektur kolonial modern setelah tahun 1920 di Hindia Belanda pada waktu itu sering disebut sebagai gaya “Nieuwe Bouwen” yang disesuaikan dengan iklim dan teknik bangunan di Hindia Belanda pada waktu itu. Sebagian besar menonjol dengan ciri-ciri seperti: atap datar, gewel horizontal, volume bangunan yang berbentuk kubus, serta warna cat putih.
Meskipun gaya arsitektur yang ditunjukkan masih banyak dipengaruhi gaya arsitektur Belanda, tapi pada umumnya bentuk arsitektur bangunan sudah beradaptasi dengan iklim setempat. Hal ini dapat terlihat dari bentuk denah dengan menempatkan galery keliling bangunan dengan maksud supaya sinar matahari langsung dan tampias air hujan tidak langsung masuk jendela atau pintu. Adanya atap susun dengan ventilasi atap yang baik serta overstek yang cukup panjang untuk pembayangan tembok.
Contoh bangunan kolonial Belanda adalah :
(a) Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia disebelah utara alun-alun dibangun tahun 1915).
(b) Palace Hotel (sekarang hotel Pelangi terletak di sebelah selatan alun-alun dibangun tahun 1916).
(c) Kantor Pos dan Telegram (sekarang sudah dibongkar terletak di Jalan Basuki Rahmat dibangun antara tahun 1910-an).
Menurut Handinoto dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda 1870-1940, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda yang disesuaikan dengan iklim tropis basah Indonesia. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah suatu bentuk khas.
Kekhasan tersebut terletak pada :
(a) Penggunaan Gewel (Gable) pada tampak depan bangunan. Gewel adalah bagian berbentuk segitiga dari bagian akhir dinding atap dengan penutup atap yang melereng.
(b) Penggunaan tower pada bangunan. Tower adalah bangunana berstruktur tinggi, dapat berdiri sendiri maupun menjadi bagian dari bangunan dengan penerangan dan peralatan internal seperti tangga, dan atap yang jelas. Di Indonesia biasanya membuat tower yang ujungnya diberi atap menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada awal abad ke-20. (c) Penggunaan dormer pada atap bangunan Dormer adalah jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal diatas gording pada atap utama.
Pengaruh Eropa mendominasi bangunan-bangunan tersebut khususnya bangunan arsitektur kolonial Belanda, perlu diperhatikan bahwa aspek iklim tropis selalu dipertimbangkan dalam desain bangunan Belanda. Hal itu dapat dilihat pada atap dengan sudut kemiringan yang besar, ventilasi yang baik dan jarak antara lantai dan langit-langit yang tinggi. Teras depan dan teras belakang yang umum ditemukan pada sebagian besar bangunan kolonial Belanda memiliki beberapa fungsi: koridor, ruang antara dari lingkungan luar dengan lingkungan dalam serta isolator panas. Teras ini juga identik dengan Peringgitan dalam rumah joglo di Jawa.
Dari beberapa bangunan di kota Malang khususnya di sekitar alun-alun yang masih mengunakan gaya arsitektur kolonial Belanda dapat diambil beberapa kesamaan ciri pada bangunan, antara lain: Penggunaan portico pada bagian utama bangunan, Penggunaan portico dimaksudkan sebagai penghubung antara ruang dalam dengan ruang luar selain sebagai penghalang sinar matahari langsung dan tempias air hujan.
Sebagai kota yang berkembang dari cikal bakal kota kolonial Balanda, Malang sarat akan bentukan fisik (tata lingkungan, bangunan), yang mempunyai nilai historis dan arsitektur yang dapat menjadi bukti dari tata kota dan arsitektur tertentu (masa kolonial) sebagai hasil dari adanay budaya indies. Oleh sebab itu, hendaknya peninggalan arsitektur kolonial di kota Malang tetap dilestarikan karena selain memiliki nilai historis yang tinggi juga dapat diangkat sebagai karakter spesifik kawasan kota Malang.
BAB I
Awal Kehadiran Orang Belanda
Awal Kehadiran Orang Belanda
Sejak lama sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, orang india, Cina, Arab, dan Portugis telah hadir di pulau Jawa. Masing-masing membawa kebudayaan sendiri. Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke indosia hannya untuk datang berdagang, tetapi malah datang menjadi pengusaha di Indonesia. Mereka mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpanan barang dagang dan kantor dagang, dan mempurkuat sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Jan Pieterzoon Coen, yang hadir di Batavia pada 1619, mendirikan kota Batavia yang di awali dengan membangun gudang penyimpan barang dengan (pakhuis), istana skaligus benteng yang di bangun di tepi timur kali ciliwung, kemudian makin berkembang di pedalaman. Untuk menghindari luapan banjir. Gubernur Jendral Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tertinggal di dalam benteng . penguasa VOC sudah membangun pos-pos penjagaan yang di perkuat dengan benteng-benteng kecil, seperti yg berada di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Vijfhoek dan Angke.
Kota Batavia, Surabaya, dan Semarang semua terletak di hilir sungai. Orang Belanda menganggap rumah-rumah itu kurang sehat karna di bangun di atas rawa-rawa. Kemudia mereka memindahkan tempat tinggal mereka ke pemukiman baru di daerah pedalaman jawa. Mereka menganggap daerah pemukiman lebih baik dan sehat. Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudia menjadi penguasa mempengaruhi gaya hidup, bentuk bangunan rumah. Dengan demikian, kebudayaan Barat (Belanda) sangat mempengaruhi sekali.
Tujuh universitas budaya yang merupakan campuran unsur budaya Belanda dan budaya dan budaya pribumi inilah yang di sebut kebudayaan indis. Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, khususnya keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi. Bentuk bangunan rumah tempat tinggal para pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang memiliki cirri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan belanda dan rumah bangunan tradisional oleh Berlage disebut dengan istilah “indo-europeesche Bounwkunst”. Van de wall menyebutnya dengan istilah “Indische Huizen”, dan Pramono Atmadi menyebutnya “Arsitektur Indis”
Politik liberal yan di lakukan oleh pemerintahan colonial pada tahun 1870, dan bannyak perusahaan swasta di bidang perkebunan, perbankan, dan perkeretaapian. Dan banyak memerlukan tenaga buruh kasar yang langsun di ambil dari desa-desa di Jawa, sedangkan pejabat tinggi bannyak di ambil dari Belanda. Dengan tersebarnya aparat pemerintahan Belanda ke pelosok nusantara ( di sebut dengan pegawai BB atau Binenlandsbestuur) pada saat itulah berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa yang di sebut gaya hidup indis.
Suburnya budaya indis, pada awanya didukung kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda, karna ada larangan membawa perempuan Belanda ke Hindia Belanda, maka terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran. Pada tahun 1870 Terusan Suez dibuka. Sehingga kehadiran perempuan Belanda semakin bannyak ke Indonesia. Sehingga percampuran budaya semakin bannyak.
Wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsh West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Namun sebenarnya berbeda, oleh karna itu namanya dibedakan. Penggunaan istilah gaya indis dalam pembahasan ini dikhususkan pada kebudayaan dan gaya hidup masyarakat khususnya di pulau jawa.
Suburnya budaya indis, pada awanya didukung kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda, karna ada larangan membawa perempuan Belanda ke Hindia Belanda, maka terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran. Pada tahun 1870 Terusan Suez dibuka. Sehingga kehadiran perempuan Belanda semakin bannyak ke Indonesia. Sehingga percampuran budaya semakin bannyak.
Wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsh West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Namun sebenarnya berbeda, oleh karna itu namanya dibedakan. Penggunaan istilah gaya indis dalam pembahasan ini dikhususkan pada kebudayaan dan gaya hidup masyarakat khususnya di pulau jawa.
Istilah indis di kenal makin luas oleh masyarakat dengan berdirinya partai-partai politik, seperti indische partai yang didirikan ole Douwes Dakker, Tjipto Mangun Kusumodan suwardi suryaningrat pada 1912. Ada pula partai indische bond.
Kata “indis” bagi bangsa Indonesia pada massa tertentu dirasakan sebagai kata hinaan. Biasa digunakan untuk menyebut bangsa kelas rendah. Penjajahan Belanda telah berakhir dan kemerdekaan Indonesia telah di proklamasikan tanggal 17 Agutus 1945. Dengan demikian, masa penjajahan tinggal kenangan belaka. Kata “indis” justru dapat dijadikan pengingat yang menandai suatu babak zaman pengaruh zaman budaya Eropa (Barat) di Indonesia yang hingga sekarang sangat mencolok dalam kebudayaan Indonesia.
Sebagai perbandingan, dalam sejarah seni rupa Barat, ada gaya yang di sebut seni Gotik yang berlangsung antara 1150-1242 dan gaya Barok yang berkembang tahun 1700-1800. Kata Gotik dan Barok mempunyai arti yg berkonotasi kurang baik. Kata gotik di pandang sebagai bangsa yang bermatabat rendah. Pada zaman Renaisans (abad ke -14sampai 17) kata “gotik” kemudian di gunakan utnuk menamakan satu gaya seni yang sangat megah dah indah.
Demikian pula dengan gaya seni Barok (abad ke-16 sampai abad ke-18). Kata “Barok” dari bahasa Portugal “barocco” artinya bulan panjang, tak beraturan, berlebihan, banyak bertingkah (ugal-ugalan) dan tampak suka pamer. Kata tersebut memiliki makna keindahan dan kemegahan tersendiri di hati penduduknya, antara lain Rambrandt van Rijn dan Velasque, yang juga memiliki cirri khusus pada zamannya.
Kata “indis” bagi bangsa Indonesia pada massa tertentu dirasakan sebagai kata hinaan. Biasa digunakan untuk menyebut bangsa kelas rendah. Penjajahan Belanda telah berakhir dan kemerdekaan Indonesia telah di proklamasikan tanggal 17 Agutus 1945. Dengan demikian, masa penjajahan tinggal kenangan belaka. Kata “indis” justru dapat dijadikan pengingat yang menandai suatu babak zaman pengaruh zaman budaya Eropa (Barat) di Indonesia yang hingga sekarang sangat mencolok dalam kebudayaan Indonesia.
Sebagai perbandingan, dalam sejarah seni rupa Barat, ada gaya yang di sebut seni Gotik yang berlangsung antara 1150-1242 dan gaya Barok yang berkembang tahun 1700-1800. Kata Gotik dan Barok mempunyai arti yg berkonotasi kurang baik. Kata gotik di pandang sebagai bangsa yang bermatabat rendah. Pada zaman Renaisans (abad ke -14sampai 17) kata “gotik” kemudian di gunakan utnuk menamakan satu gaya seni yang sangat megah dah indah.
Demikian pula dengan gaya seni Barok (abad ke-16 sampai abad ke-18). Kata “Barok” dari bahasa Portugal “barocco” artinya bulan panjang, tak beraturan, berlebihan, banyak bertingkah (ugal-ugalan) dan tampak suka pamer. Kata tersebut memiliki makna keindahan dan kemegahan tersendiri di hati penduduknya, antara lain Rambrandt van Rijn dan Velasque, yang juga memiliki cirri khusus pada zamannya.
Kebudayaan dan gaya hidup indis merupakan satu fenomena historis karna menghasilkan karya budaya yang di tentukan oleh beberapa factor, interrelasinya. Pemerintah kolonial mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup serta membangun gedung dan tempat tinggalnya dengan menggunakan cirri-ciri dan lambing yang berbeda dari rakyat yang di jajahnya. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya,
Studi tentang kebudayaan dan gaya hidup indis di jawa dengan pendekatan ilmu sejarah dan hubungannya dengan tujuh unsur universitas budaya belum bannyak di kerjakan. Apa yang di tulis di dalam karya Berlage, Van de Wall dan Peter J.M. Nas, lebih berfokus pada gaya bangunan secara umum. Selain itu terdapat pula karya De Han, Breton de Nijs, Buiten Weg, dan Bea Bromer tentag kehidupan masyarakat indis. Karya-karya para penulis tersebut tidak terkait tujuh unsure universal budaya, sehingga pembahasannya terasa terlepas satu sama lain. Tulisan mereka sangat berharga bagai pemahaman pola gaya hidup indis sebelum perang dunia I dan II yang tidak di kenal oleh generasi muda Indonesia sekarang.
Untuk itu tulisan clyd cluckhohn tentan tujuh budaya universal sebagai alat (sarana) memahami budaya universal dapat menjadi referensi yang sangat peting untuk memahami kebudayaan indis.
Perang Dunua II dan perang kemerdekaan mengakibatkan perubahan kebijakan pemerintah, perubahan selera keindahan, dan perubahan tingkat ekonomi. Banyak bangunan rumah bergaya indis bersejarah, serta yang memiliki ke indahan dan keagungan tersendiri lenyap tergusur. Dinas kepurbakalaan dan permusiuman belum banyak menangani peninggalan hasil karya seni kebudayaan Indonesia. Padahal, pelestaria dan penelitian budaya indis akan memperkaya budaya bangsa.
Data sejaah menunjukan adanya arus besar-besaran (mainstream) yang menghubungkan pola hidup dan budayamasyarakat, serta status penghuninya dalam berbagai kegiatan. Beberapa arus besar yang mempunyai fungsi integratife antara lain:
(a) ekonomi,
(b) politik,
(c) sosial,
(d) kesenian/kebudayaan, dan
(e) kepercayaan (religi). Semua itu menentukan pola gaya hidup dan budaya masyarakat di Hindia Belanda.
Sebagai fenomena historis, gaya hidup dan budaya indis sangat erat hubungannya dengan faktor politik colonial. Cirri-ciri khas ini di gunakan untuk menunjukan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa dan untuk membedakan kedudukan dengan rakyat pribumi, mereka tinggal berkelompok di bagian wilayah kota yang di anggap terbaik.
Selain para pejabat bangsa Belanda dan peranakan, para priyai baru juga memiliki peranan sangat besar dalam penciptaan gaya hidup dan perkembangan seni budaya indis. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn khaldun dalam membahas tentang pengertian dinasti. Iya menyebut bahwa suku yang berbudaya lebih rendah (Orang Badui) mempunyai kecenderungan kuat untuk meniru adat kebiasaan pihak penguasa yang berbudaya yang lebih tinggi. Berlage memberikan contoh tentang penggunaan rumah tinggal. Ia menyebutkan walaupun orang Belanda memiliki kemampuan sebagai penguasa, teryata bangunan rumah Belanda terpengaruh juga oleh semi bangunan setempat yang di sebut “Indo-Europeesche bouwkunst”.
Dari para birokrat pemerintah kolonial, berkembanglah kebudayaan indis yang merupakan kebudayaan hasil jalinan erat antara dua budaya, yaitu budaya Jawa dan Belanda. Kesejahteraan dan peningkatan status seseorang menurut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat prabotan rumah tannga , mata pencarian, kesenian, agama, dan sikap lebih menghargai waktu.
Gernhard E. Lenski menyebut bahwa dalam hubungan yang kompleks dan bersimbiosis itu, penduduk kota dan dan pemerintah berusaha mencari jalan untuk dapat mengatur dan mengawasi pergaulan hidup sesuai sesuai dengan tingkat sosialnya.
Perkembangan kebudayaan indis berakhir bersama dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan kekuasaan balatentara jepang selama tiga setengah tahun. Gaya hidup indis yang mewah terusik oleh perang dunia II yang berkecamuk melumpuhkan gairah hidup.
Kebudayaan indis adalah monument estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi colektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.
Tepat kiranya pendapat Adolph S. Thomars dalam tulian yang berjudul Class Systems and the Arts yang menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep tomars ini, penulis memiliki landasan sosiologis yang kuat bahwa gologan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan “Indis”.
BAB II
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis
Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan masyarakat sosial baru sebagai pendukung kebudayaan campuran(Belanda-Jawa) di daerah penjajahan Hindia-Belanda.Ada 5 golongan masyarakat desa menurut Burger yaitu pamongpraja bangsa Belanda,pegawai Indonesia baru,pengusaha partekelir Eropa dan golongan akademisi Indonesia serta menengah Indonesia.Golongan terakhir justru kurang dianggap oleh keempat golongan di atas.Para bangsawan Jawa justru memperlakukan golonhan ke 5 sebagai wong cilik.
Golongan masyarakat kecuali wong cilik merupakan pendukung kuat kebudayaan Indis.Masyarakat kolonial di Hindia Belanda memiliki struktur yang bersifat semi feodal.Golongan intelektual pribumi atau keturunan,golongan pegawai pemerintah kolonial dan golongan bangsawan adalah kelompok utama pendukung kebudayaan Indis.Pemerintah kolonial ,yang memberi prioritas pada politik dan kepentingan modal ,beranggapan bahwa gaya hidup dan cara berfikir gaya indis adalah suatu yang tepat ,baik sadar maupun tidak.Anggapan tersebut menjadikan pemerintah kolonial lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat jajahan dengan politik Etis-nya.
Pada awalnya,yang menonjol adalah unsur yang bersifat subjektif,seperti solidaritas dan ras kesatuan dalam kelompok,rasa senasib,kehendak bersama baru gerakan itu berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat kolonial untuk menciptakan kelas sosial tersendirui didukung oleh pejabat pemerintah kolonial khususnya oleh para priyayi baru dan golongan indo-Eropa.Unsur-unsur esensial yang menonjol dalam perkembangannya antara lain:penderitaan bersama sebagai golongan keturunan sebagai pejabat bawahan pemerintah kolonial ,sebagai golongan dalam tingkatan-tingkatan masyarakat jajahan yang merasa berbeda dengan rakyat kebanyakan di jawa dan sebagainya.Sedangkan faktor penentu perkembangan kebudayaan indis antara lain:adanya nasib dan penderitaan yang sama sebagaui rakyat jajahan,karena takdir dilahirkan dari campuran eropa dan Jwa,keinginan untuk dapat hidup lebih baik dari golongan masyarakat yang lain,karena pengabdian pada penguasa jajahan dan berentung karena mendapat pendidikan yang tinggi.
Ada beberapa aspek pendukung kebudayaan Indis yaitu:
1.Aspek kognitif
Hal ini terkait dengan aktivitas dan meliputi berbagai objek,hal ini lebih sulit di artikan karena justru gaya indis berpangakl pada dua akar kebudayaan yaitu Belanda dan Jwa yang sangat berbeda.Untuk memahami perlu diketahui adanya pengertian fenomene kekuasaan kolonial dengan segala aspek dan proposinya.Misal rumah bagi orang Jawa adalah model alam mikrokosmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya,tidak ada pada alam pikiran Eropa.
2.Aspek Normatif
Aspek ini menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga,yang menjadi tuntunan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik di bawah kekuasaan pemerintah kolonial.Contohnya rumah masih bergaya jawa,seseorang priyayi pejabat kolonial akan sangat sulit merundingkan sesuatu yang bersifat rahasia secara empat mata di ruang pendapa,sedangkan tamu-tamu lainnya ikut hadir mengelilinginya.
3.Aspek afektif
aspek ini yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi.Aspek ini dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
4.Komposisi sosial
ongang keturunan campuran sadar bahwa kebudayaan Belanda perlu tetap di unggulkan karena memang ingin menjaga martabat sebagai bangsa penguasa.Sementara itu,terjadi penyesuaian dengan iklim dan budaya Pribumi setempat yang akhirnya menumbuhkan budaya perpaduan yang di sebut indis.Pemahaman budaya Belanda tidak saja diterima dari anak keturunan orang belanda yang sudah tinggal lama di Jawa tetapi juga didapat langsung dari negeri Belanda.Kebudayaan indis memiliki ciri gaya hidup sebagai golongan masyarakat ,yaitu memiliki kompleksitas simbol yang menunjukan karakteristik priyayi.
BAB III
Gaya Hidup Masyarakat Indis
Gaya hidup semacam di landhuizen itu tidak dikenal di negeri Belanda. Lama-kelamaan kota-kota pionir macam Batavia, Surabaya, dan Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman Jawa, yang dianggap lebih baik dan sehat. Di sini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat. Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Dalam membangun rumah tempat tinggal gaya Indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar, misalnya mereka yang tinggal di Laweyan (Surakarta), dan Kotagede (Yogyakarta). Pada masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Ada pun grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata pencariannya menjadi pemburu dan nelayan. Telundak untuk santaiRumah-rumah mewah milik para pejabat tinggi VOC menjadi pioner berkembangnya kebudayaan Indis. Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pembesar kompeni misalnya, diawali dengan mendapatkan sebidang tanah berupa hutan. Semula mereka mendapatkan hak milik dari penguasa tertinggi Hindia Belanda. Rumah dan gereja kecil di Depok, misalnya, pembangunannya diprakarsai sendiri oleh Chastelijn, pemiliknya. Rumah dan kebun tuan tanah Materman (yang kini mengingatkan nama daerah Matraman), dilaksanakan oleh tuan tanahnya sendiri. Rumah tempat tinggal Belanda masa awal di Jawa mempunyai susunan khas mirip dengan yang ada di negeri asalnya.
Di lain sisi rumah mewah dan rumah tinggal di luar benteng dibangun dalam lingkungan alam dunia Timur, atau Jawa. Sehingga hasil akhirnya adalah bentuk campuran, yakni tipe rumah Belanda dengan bentuk rumah pribumi Jawa. Rumah-rumah bergaya Indis. Bangunan rumah mewah semula dipergunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota, yang kemudian juga didirikan di wilayah-wilayah baru di Batavia. Corak bangunan rumah tinggal demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda. Ciri menonjol pada rumah-rumah Belanda di Batavia ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekadar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah, tetapi mempunyai arti dan kegunaan khusus, sebagai sarana hubungan sosial. Telundak menjadi tempat bertemu yang ideal antarkeluarga dan tetangga. Telundak yang lebar ini kebanyakan digunakan untuk duduk santai dan menghirup udara segar di sore hari. Pada masa berikutnya, pada sudut-sudutnya ditaruhkan bangku. Sebuah pagar rendah dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna mendapatkan ruang yang lebih luas.
Pada sore atau malam hari, mereka bergerombol berdatangan di ruang ini sambil merokok dengan pipa cangkolong, atau minum-minum, dan makan makanan kecil. Kadang-kadang orang tidur-tiduran di kursi malas untuk memulihkan stamina.Dari catatan-catatan kuno, ruang tengah yang terletak di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruang ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, di samping pajangan piring-piring hias dan jambangan porselin. Di ruang ini terdapat juga sebuah kerkstoel, atau kursi untuk kebaktian, khususnya untuk nyonya rumah.Setiap hari Minggu, kursi yang berukir bagus ini digotong ke gereja oleh budak-budak perempuan bersama dengan kotak sirih, payung, kitab suci, dsb. Pada dinding ruangan ini juga tergantung perabotan lain macam senjata atau alat perang seperti senapan, pedang, perisai, tombak, dsb. Pada waktu itu setiap penghuni rumah diharuskan menyediakan senjata untuk ikut menjaga keamanan. Di dalam ruang zaal diletakkan kelengkapan rumah seperti meja makan, almari tempat rempah-rempah, dan meja teh. Almari hias yang penuh berisi piring cangkir porselin juga ada yang diletakkan di dalam atau di atas almari, bahkan porselin-porselin itu ada yang diletakkan pada rak-rak papan, consol-consol, atau deurpilaster. Hiasan utama pada ruang zaal ini adalah tangga yang di Belanda sana biasa diletakkan di sudut bagian rumah depan, sedangkan di Batavia umumnya diletakkan di sudut belakang zaal.
Mengamati orang mandipada rumah yang berukuran besar terdapat bangunan-bangunan samping yang dipergunakan untuk gudang, tempat menyimpan kayu bakar, tandon air minum, beras, minyak, dsb. Biasanya bangunan rumah samping bertingkat, ruang tingkat atas digunakan untuk tempat tinggal para budak. Kebiasaan menyediakan tempat tinggal untuk budak tidak dikenal di Belanda. Para budak ini kesehatannya tidak terurus dengan baik. Hal demikian juga terjadi pada ruang-ruang pembantu di rumah induk milik para penguasa Belanda yang juga jarang dijaga kebersihannya. Sebagai contoh, budak yang tinggal di dalam rumah van Riemsdijk [apakah ia gubernur jendral??] di Tijgergracht. Di rumah ini bertempat tinggal tidak kurang dari 200 orang budak, yang terdiri atas anak-anak, orang tua atau muda yang tinggalnya berjejal. Di rumah van Riemsdijk itu juga terdapat bangunan berbentuk rumah-rumahan kecil yang terbuka disebut speelhuisje yang terletak di tepi kali yang khusus dipergunakan untuk mandi. Kemudian, van Riemsdijk menggunakannya sebagai kamar tunggu para tamu dengan menghilangkan jenjang tangga yang menuju ke arah kali. Sementara itu, ada dua buah rumah kecil berkubah yang terletak di sungai di depan rumah Gubernur Jendral Van der Parra di Jalan Veteran sekarang. Diletakkannya satu perangkat tempat duduk pada ruangan rumah kecil berkubah ini untuk bersantai, bahkan juga dipergunakan untuk menerima tamu-tamunya. Ambang pintu diletakkannya dekat dengan wastrap (tempat membersihkan kaki sebelum naik ke tangga). Bagian dalam ruang ini diusahakan berpenampilan sebagus mungkin.
Dengan demikian, Paduka Tuan Gubernur Jenderal di pagi hari leluasa mengamati setiap orang yang mandi di kali. Van der Parra tidak tinggal bersama istri di Batavia dan tidak seharian pergi ke sungai, boleh jadi bangunan ini tempat untuk berganti pakaian saja. Mungkin juga dimaksudkan sebagai hidro hobi, sebagai petunjuk bahwa ia pernah berada di Belanda. Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Bersantap sup kura-kura dan daging kijangGambaran gaya hidup mewah Indis antara lain dapat disimak pada penuturan Rooda yang menginap di Pesanggrahan Tjiampea dekat Bogor. Pada awal abad XIX, ia menulis dalam catatan singkatnya tentang kehidupan tuan tanah pemilik pesanggrahan:”… Pagi hari jam 05.30 kami dibangunkan dengan bunyi lonceng. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, para tamu segera memakai sarung dan kebaya tipis. Kami menuju serambi belakang untuk bersantai sambil minum kopi atau teh ditemani manisan dan buah-buahan.
Usai mandi para lelaki dengan menunggang kuda atau kereta mengelilingi kebun. Kemudian dilanjutkan membaca surat-surat, surat kabar, menulis, atau membaca. Makan pagi yang mewah dan enak pun sudah dihidangkan. Hidangan yang semacam ini di Eropa biasanya untuk makan siang. Sambil menikmati suguhan, telinga kami dihibur suara gamelan dan musik Eropa yang merdu. Para perempuan kemudian ke toilet dan tuan-tuan menuju ke meja bilyar.
Di sini orang mendengar orgel putar yang merdu diselingi dengan piano sambil merokok cerutu, omong-omong, dan minum anggur pagi. Kurang lebih pukul 13.00 adalah waktunya orang makan dengan piring lengkap, yang terdiri antara lain jenis-jenis makanan Indis. Seperti kare dari sarang burung atau sup kura-kura, nasi, sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai daging sapi, kijang, ikan, rempah-rempah, acar, nanas, mangga dan berbagai jenis buah-buahan; mentimun, dan macam-macam manisan yang direndam dengan minuman anggur. Pelayannya adalah para budak dan pembantu perempuan muda. Makan siang ini diiringi dengan lagu-lagu musik Eropa. Sementara itu pelayanan tuan rumah sangat bersahabat, tidak dibuat-buat dan dengan penuh kegembiraan sehingga hidangan selalu menjadi kenangan. Usai makan ada sementara tamu yang beristirahat sebentar, ada pula orang-orang yang minum teh dan kue-kue. Disusul acara perjalanan keliling dengan naik kuda atau kereta kuda. Setelah puas berkeliling disuguhkan kopi, selanjutnya para tamu muda berdansa dan yang tua-tua main kartu di meja permainan. Pada pukul 10.00 malam berkumpullah orang-orang itu untuk makan malam. Baru pada tengah malam pergilah masing-masing ke tempat tidurnya ….”
Bukan mikrokosmos Gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh dalam hal membangun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubungan erat dengan perilaku yang aktual. Pada suku Jawa, misalnya, tidak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan di antara anggota dan bukan anggota penghuni rumah, fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasan sistem simbolik pada umumnya, khususnya gaya penghuninya. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus di dalam rumah dengan fungsi agar privasi terjamin. Semua itu menjadikan makin canggungnya orang pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing itu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokosmos menurut konsep pikiran Jawa, tidak didapatkan pada alam pikiran Eropa.
Jelas, tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa. Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan rumahnya yang sedang dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah gema saja dari adat lama, yang sudah kabur pengertiannya. Pada orang Jawa menaikkan molo sebuah rumah tinggal dengan selamatan, melekan (tidur malam), meletakkan secarik kain tolak bala, sajen, dan memilih hari baik, memiliki arti simbolik tertentu. Bagi orang Jawa meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya paham kepercayaan tentang kekuatan supranatural yang sulit untuk dijelaskan.
Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak.Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari, seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.
BAB IV
Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis dan Pribumi
Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis dan Pribumi
A. Sumber – sumber tentang Pola Lingkungan Permukiman
Pola permukiman, bentuk rumah tinggal tradisional dan bangunan rumah tinggi gaya Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tulis buah karya orang jawa, belanda (Eropa) serta orang asing lainnya. Selain itu, terdapat peninggalan bangunan yang hingga saat ini masih ada dan digunakan sebagai tempat tinggal atau keperluan lain. Sumber lain yang juga dapat digunakan sebagai sumber berita ialahhasil karya yang berupa lukisan, skets dan graver buah karya para musafir, peneliti alam, pejabat VOC dan dokumentasi pemerintah kolonial. Setelah dikenal pengguanaan alat pemotretan, hasil fotografi merupakan sumber berita penting yang dapat digunakan untuk melengkapi sumber – sumber tersebut.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum ada abad ke -19. dalam disertasi FA. Soetjipto tentang kota – kota pantai disekitar Selat Madura terdapat informasi tentang sumber – sumber berita tertulis Pribumi, antara lain berupa babad, kidung maupun serat, baik yang maih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak dengan jumlah cukup banyak. Karya – karya tulis ini banyak ditulis didaerah pantai (pesisir) dan pedalaman Pulau Jawa.
Manuskrip tersebut antaralain Babad Negeri Semarang, Babad Tuban,Babad Gersik, Babad Blambangan, Babad Kitho Pasoeroean, Babad Lumajang dan Babad Banten. Yang berupa cerita perjalanan R.M. Poerwolelono. Kitab – kitab tersebut memberitakan dan menerangkan berbagai aspek kehidupan suku jawa,dan secara tidak langsung juga memberitakan tentang kota, rumah, adat, sejarah dan sebagainya.
Menggunakan sumber – sumber berupa babad, serat atau cerita perjalanan seperti tersebut di atas memerlukan ketelitian dan sikap kritis dalam memahaminya karena kitab – kitab tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai karya sejarah, tetapi lebih bersifat karya sastera.
2. Sumber Tertulis dari Bangsa Eropa
2. Sumber Tertulis dari Bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang Pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalanan sudah ditulis pada abad ke-18 dan abad ke-19 cukup banyak, antara lain berupa Rapporten, Missiven, Memories van Overgave (naskah serah terima jabatan). Reis bechrijvingen (catatan perjalanan), Daaghregisters (catatan harian Kompeni di Batavia) dan Contracten (naskah – naskah perjanjian antara Kompeni dan kelapa – kelapa bangsa Pribumi).
Kebanyakan tulisan itu masih berupa manuskrip yang tersimpan di gedung arsip di Indonesia dan Belanda. Yang sudah diterbitkan antara lain Generale Missiven van Gouverneur Generaal en Raden aan Heeren XVII der Vereenigde Oost-Indische Compagnie, (S’Gravenhage, 3 jilid, 1960-1968); Daghregister Gehouden in’t Casteel Batavia van Passerrende daer ter Plaeste als Over Geheel Nederlandts-Indie, (31jilid, Batavia/Den Haag. 1888-1931); Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum (diterbitkan J.E. Heeres G.F.W. Stapel, Deb Haag, 1907-1938).
Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyarakatnya pada abad ke-18 dan abad ke-19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia Belanda, khususnya Jawa. Karya dari pengalamn pribadi itu sangat mengasyikan untuk dibaca untuk menambah wawasan gambaran hidup sezaman yang meliputi tujuh unsur pokok universal kebudayaan indis di Jawa.
Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyarakatnya pada abad ke-18 dan abad ke-19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia Belanda, khususnya Jawa. Karya dari pengalamn pribadi itu sangat mengasyikan untuk dibaca untuk menambah wawasan gambaran hidup sezaman yang meliputi tujuh unsur pokok universal kebudayaan indis di Jawa.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis dan potrer. Selain berita dari karya – karya tulis yang sudah disebutakan pada sub-bab sebelumnya, penggambaran kota, permukiman dan perumahan dapat juga diikut secara visual lewat lukisan para pelukis Eropa yang datang ke Indonesia. Lukisan yaitu suatu lukisan dengan teknik encreuk relief yang dipahatkan pada lempengan tembaga atau perunggu sangat populer. Dalam melukis, pelukis antara lain menggunakan cara penglihatan mata burung (vogel vlucht). Karya – karya itu dilukis oleh para pelukis yang mengikuti perjalanan, pelayaran atau ekspedisi. Karya mereka berupa lukisan kota – kota pantai, seperti Batavia, Jepara, Banten, Gersik dan sebagainya.
4. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di gedung KITLV Laiden dan berbagai museum Belanda. Menurut Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia di Pejaten (Jakarta), disebut oleh direkturnya, tersimpan tidak kurang dari 1.000.600 buah foto dari masa sebelum Perang Dunia II.
Sejak kehadiran kapal – kapal dagang Belanda pertama kedunia Timur, mereka sudah membawa serta para pelukis. Hasil lukisan mereka terutama digunakan untuk kelengkapan laporan kepada Heeren Zeventien di Belanda. Ada lukisan yang dimaksudkan sebagai kenang – kenangan atau sebagai hadiah keluarga. Ada pula yang dimaksud untuk diperjualbelikan. Objek lukisan ialah keadaan negeri – negeri yang dikunjungi, seperti kota – kota pantai, kehidupan masyarakat sehari – hari, adat-istiadat, rumah tempat tinggal dan sebagainya. Banyak di antara lukisan yang dihasilkan menunjukan kekayaan, kebesaran dan kekuasaanpara raja di berbagai negara yang disinggahi kapal – kapal VOC tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pelukis dan awak kapal Inggris dan Prancis yang mengunjungi Hindustan dan Persia. Pada umumnya para pelukis tersebut selalu diperintahkan mengikuti pelayaran untuk kepentingan dagang VOC dengan tujuan mencari pengalaman dan petualangan (avounturier). Tidak jarang para awak kapal sendiri yang melukis sekedar untuk mengisi waktu, sebagai selingan kejenuhankarena lam tinggal di atas geladak kapal.
Baru pada abad ke-19 diirim para pelukis yang khusus melukissegala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian. Misalnya, Junghuhn melukis berbagai jenis tumbuh – tumbuhan, Rumphuius melukis berbagai jenis binatang darat dan laut, dan Bemenllen melukis tentang alam. Pada masa kemudian, lukisan tersebut juga sangat berharga sebagai alat untuk mengetahui dan memberi gambaran tentang keadaan kota – kota pantai, penduduk dan para penguasanya, seni bangunan serta adat-istiadat.
Baru pada abad ke-19 diirim para pelukis yang khusus melukissegala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian. Misalnya, Junghuhn melukis berbagai jenis tumbuh – tumbuhan, Rumphuius melukis berbagai jenis binatang darat dan laut, dan Bemenllen melukis tentang alam. Pada masa kemudian, lukisan tersebut juga sangat berharga sebagai alat untuk mengetahui dan memberi gambaran tentang keadaan kota – kota pantai, penduduk dan para penguasanya, seni bangunan serta adat-istiadat.
B. Mengamati Seni Bangunan Rumah dari Hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan Karya Sastera
Mengenal kembali sesuatu hasil seni bangunan rumah dari silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan zaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari banguan aslinya atau reruntuhan yang ada, dapat pula melalui benda – benda lain. Adapun benda – benda lain berupa karya lukis, karya sastera, foto gravir. Sketsa, relief atau bend lain seperti maket yang dibuat oleh museum atau lembaga – lembaga penelitian.sebagai contoh, tentang bentuk bangunan rumah Jawa zaman Majapahit atau zaman Jawa Hindu, orang dapat melihatnya dari gambar relief candi atau hasil seni sastera sebagai Nagara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca.
Melalui karya seni lukis, foto gravir, relief dan karya sastera, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Dengan demikian orang tidak harus selalu mencari banguan rumah aslinya, tetapi dapat pula melihatnya dari hasil – hasil karya seni lukis yang dilukis pada waktu bangunannya dalam keadaan utuh. Dalam seni lukis abad ke-17 sampai abad ke-19, sedikit sekali kemingkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan.
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya terperiode Renaisans dan Barok. Pada masa itu “naturalisme” dan “akademisme” hidup dengan subur dikalangan seniman lukis Eropa. Dengan demikian, di dalam lukisan – lukisan seniman Belanda pada zaman ini besar sekali kemungkinannya bahwa apa yang dilukis benar – benar ada dan tepat sesuai dengan bangunan serta keadaan pada waktu itu. Sehingga dengan demikian, hasil karya lukis dari zaman itu bernilai setara dengan hasil pemotretan dengan foto kamera pada abad ke-20.
Kedua, beberapa penulisan dan pelukis lazim menggambarkan bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahanyan oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga).
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jendral di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggaldan keluarga mereka sebagai kebanggan atau kenang – kenangan keluarga. Hal ini sama dengan orang dari abad sekarang yang memotret rumah dan keluarga untuk dipasang pada dinding rumah atau dikirim pada sanak keluarganya dengan maksud yang sama, yaitu sebagai kenangan atau pamer.
Kedua, beberapa penulisan dan pelukis lazim menggambarkan bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahanyan oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga).
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jendral di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggaldan keluarga mereka sebagai kebanggan atau kenang – kenangan keluarga. Hal ini sama dengan orang dari abad sekarang yang memotret rumah dan keluarga untuk dipasang pada dinding rumah atau dikirim pada sanak keluarganya dengan maksud yang sama, yaitu sebagai kenangan atau pamer.
Bab V
Ragam Hias Rumah Tinggal
Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian juga ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat ditanah Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis juga ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalkan melaui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang kegiatan sehari-hari.
Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus-menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Dalam pertemuan ini dapat terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan, yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut. Atau dapat juga ciri kebudayaan yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok yang lain. Meskipun demikian dalam penggunaannya akhir-akhir ini cenderung diartikan terbatas hanya pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral). Misalkan dalam hal pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.
Proses tersebut bisa timbul bila ada ;
(i) golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda,
(ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama sehingga,
(iii) kebudayaan-kebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. Proses yang timbul tersebut bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat, yaitu bila terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinterkasi dan memahami diantara kedua etnis.
Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup dan sebagainya. Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu:
a) berupa sistem budaya (cultural system) yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya, yang berbetuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan "tata budaya kelakuan".
b) berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola, upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan.
c) berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan.
Pada awalnya rumah-rumah mewah yang dibangun diperkebunan yang lazim disebut landhuis, yang dibangun oleh para pejabat tinggi VOC mengikuti model Belanda dari abad 18, dengan ciri-cirinya yang masih sangat dekat. Contoh peralihan menuju kebentuk rumah gaya Indis, yang dibangun pada abad 18 antara lain rumah Japan, Citrap, dan Pondok Gede, yang dapat diamati ciri-cirinya sebagai bangunan landhuis. Bilik-bilik yang terdapat dirumah ini jumlahnya sangat banyak, menunjukkan bahwa rumah ini dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri dari satu keluraga inti, dengan puluhan bahkan ratusan budaknya. Gaya hidup semacam di landhuizen seperti itu tidak dikenal di negeri Belanda.
Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa dimengerti karena pada awal kedatangannya mereka membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Namun lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah mereka. Selain itu perubahan pada bangunan mereka bisa pula dikarenakan iklim dan cuaca yang berbeda antara dinegeri Belanda dengan ditanah Jawa. Sehingga bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat.
Di Surakarta rumah bergaya Indis dengan ciri-ciri landhuis yang masih terawat rapi salah satu contohnya adalah rumah Agustinus De Zentje, yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Surakarta. Rumah ini memiliki bentuk bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat dirumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Surakarta dengan sebutan Loji Gandrung.
Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam.
Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka dipasanglah berbagi macam hiasan, baik hiasan yang kontruksional atau yang tidak.
Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan berbagai aspek keindahan dan kontruksi bangunan. Seorang arsitek dituntut bukan hanya membangun sebuah banguanan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga tersebut memiliki jiwa, karakter, yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan.
Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni budaya, atau peradaban suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bilamana memiliki bentuk (vorm), hiasan (verseing) dari benda tersebut selaras (harmonis) dengan kegunaan dan bahan material yang dipergunakan.
Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang, sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaan-percobaan berulang kali.
Dalam arsitektur ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu;
1) masalah kenyamanan (convinience),
2) kekuatan atau kekukuhan (strength),
3) keindahan (beauty).
Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitang erat dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut. Ketiganya merupakan dasar penciptaan yang memberikan efek estetis.
Seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang bernama Henri Maclaine Pont berpendapat bahwa selain bentuk dan fungsi bangunan ada hal lain yang sama pentingnya yaitu adanya hubungan logis antara bangunan dengan lingkungan. Hal ini bisa diadaptasikan oleh orang-orang Belanda sebelum Maclaine Pont datang ke Hindia-Belanda. Bangunan-bangunan rumah landhuis mengadaptasi bangunan-bangunan rumah tradisional setempat yang sesuai dengan alam dan lingkungan sekitar, kemudian dipadukan dengan teknik bangaunan Eropa, serta kemegahan bangunan-bangunan Eropa serta keindahan dari ornamen-ornamennya. Dari sini lalu terciptalah bangunan-bangunan bergaya Indis yang mewah dan tidak lagi seperti bangunan dinegeri asalnya.
Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Indonesia telah mampu menjawab tantangan dari alam lingkungan Jawa yang tropis. Dalam membangun tempat tinggalnya mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan alam setempat. Selain struktur bangunan yang disesuaikan, fungsi dari tiap-tiap bagian rumahpun mereka perhatikan dengan ketat.
Gaya hidup sehari-hari dari golongan Indis ini menjadikan perlu adanya penyesuaian pada bagian-bagian rumah yang mereka tempati.
Kesimpulan
Buku ini mengulas kebudayaan Indonesia yang berkembang di Jawa abad XVIII - media abad XX
Di samping merebaknya sikap ketidakadilan serja pelanggaran hak-hak manusia yang dilakukan oleh kaum penjajah Belanda, ternyata pada waktu itu terjadi pula proses pembentukan kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan dan gaya hidup Indis.
Budaya Indis yang merupakan perpaduan budaya barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya Jawa, dibahas dengan rinci oleh penulis. Dengan bahan-bahan arsip serta karya-karya peningalan pada masa lampau yang terdapat di negeri Belanda dan di tanah air, terungkaplah kekayaan budaya kita pada masa penjajahan yang sangat unik.
Budaya Indis yang merupakan perpaduan budaya barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya Jawa, dibahas dengan rinci oleh penulis. Dengan bahan-bahan arsip serta karya-karya peningalan pada masa lampau yang terdapat di negeri Belanda dan di tanah air, terungkaplah kekayaan budaya kita pada masa penjajahan yang sangat unik.
Budaya Indies telah memberikan pengaruh pada banyak hal di Nusantara, khususnya di Jawa Timur tepatnya di kota Malang. Pengaruh-pengaruh tersebut dpat terlihat pada beberapa bentuk bangunan, khususnya bentuk rumah yang berpengaruh terhadap stratifikasi sosial. Hal tersebut menunjukkan suatu kondisi ironis, bahwa produk budaya bangsa yang penuh dengan nilai luhur, malah menunjukkan rendahnya derajat bangsa Indonesia pada masa kolonial. Namun ketika kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, terjadi pendobrakan nilai warisan kolonial Belanda. Ini berujung pada pembongkaran ukuran stratifikasi sosial kolonial Belanda. Hal ini pada akhirnya merubah fungsi bagian-bagian dari rumah.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut:
(1). Pengaruh budaya indies dalam bentuk rumah terkait dengan stratifikasi sosial pada masa kolonialisme Belanda.
(2). Seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi pembongkaran nilai-nilai yang diterapkan kaum kolonial Belanda. Hal ini diikuti adanya pergesaran nilai untuk mengukur status sosial tidak lagi memakai ukuran warna kulit. Implikasinya dalam menerima tamu tidak lagi dibeda-bedakan perlakuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, P.T.Ichtiar Baru-van Hoeve, 1991)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980) hal 269
Drs. P. Hariyono, Kultur Cina Dan Jawa; Pemahaman Menuju Asimililasi Kultural, (Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal 15
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya Di Jawa
(Abad XVII-Medio Abad XX) , (Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000) hal 40-41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar